Kelompok Praktikum Prosesi Lapangan (PPL) UIN Sultan Maulana Hasanudin (SMH) Banten bekerjasama dengan PATTIRO Banten dan USAID MADANI menyelenggarakan workshop kolaborasi terkait Menekan AKI/AKB di Banten.
Dalam kegiatan tersebut, PATTIRO Banten, Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Pasoendan Digdaya dan Forum Peduli Kesehatan Ibu dan Anak (FOPKIA) Kabupaten Tangerang memaparkan terkait praktik baik yang dilakukan beserta rekomendasi kebijakan dalam upaya menekan AKI/AKB tersebut.
Manajer Riset PATTIRO Banten, Angga Andrias menyampaikan, dalam upaya menurunkan AKI dan AKB di daerah, Pemerintah Provinsi Banten tidak memiliki regulasi baik perda maupun pergub tentang penurunan AKI dan AKB.
“Kemudian pada dokumen Rencana Pembangunan Daerah (RPD) Tahun 2023 – 2026. AKI dan AKB tidak menjadi indikator target dalam misi 1 yang Mewujudkan Masyarakat Sejahtera yang Berakhlak Mulia, Berbudaya, Sehat dan Cerdas,” ungkap Angga, Rabu (5/10)
Kendati demikian AKI dan AKB masuk ke dalam indikator di urusan kesehatan. Ia melanjutkan, untuk di pemerintah kabupaten/kota, seluruh daerah sudah memiliki aturan baik peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah dalam upaya pelaksanaan penurunan AKI dan AKB di daerah.
“Baik dalam pengaturan percepatan penurunan kematian Ibu dan Bayi, pelaksanaan Jaminan Persalinan (JAMPERSAL) dan Pedoman Pelayanan Rujukan Kegawatdaruratan maternal dan neonatal,” jelasnya.
Menurutnya, untuk mencegah dan menurunkan AKI dan AKB, Pemerintah sebaiknya melakukan kolaborasi pentahelix dengan masyarakat, media, swasta dan perguruan tinggi.
“Sehingga kematian ibu dan bayi bisa di minimalisir dan menemukan solusi bersama-sama dalam penanganannya. Dan juga menginformasi data angka kematian ibu dan bayi secara berkala agar bisa dimonitoring dan evaluasi bersama. Dengan demikian kerjasama antara multipihak bisa berjalan sinergis dan penurunan AKI dan AKB baik di wilayah yang strategis maupun wilayah yang sulit akses bisa ditangani secara berkelanjutan,” terangnya.
Direktur PPSW Pasoendan, Viva Saptarina Ratu menyampaikan bahwa berdasarkan analisa sosial yang dilakukan oleh pihaknya, tingginya angka pernikahan dini yang ditambah masih rendahnya pemahaman masyarakat terkait KIBBL dan KIA menjadi sebuah permasalahan dalam mencegah kematian ibu dan bayi.
“Selain itu, masih terlihat kurang maksimalnya peran dan pemahaman suami terkait KIBBL. Untuk permasalahan budaya, terlihat masih kuatnya kepercayaan terhadap sesepuh/ kokolot/tokoh masyarakat,” terang Viva.
Ia juga menyoroti, masih adanya ketimpangan pembangunan. Hal ini menyebabkan, jarak tempuh menuju fasilitas kesehatan masih cukup jauh dari pemukiman dan masih kurangnya jumlah tenaga dokter.
“Serta masih rendahnya komitmen politik di Desa terkait KIBBL dengan indikasi masih belum adanya peraturan Desa yang secara spesifik membahas tentang KIBBL,” ucapnya.
Ia juga menyampaikan, secara analisa anggaran, terlihat bahwa tidak ada pengaruh anggaran belanja dinas kesehatan terhadap pengurangan AKI dan AKB. Hal yang sama juga menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh anggaran belanja dinas puskesmas terhadap pengurangan AKI dan AKB.
Sementara, berdasarkan analisa yuridis, Pemkab Lebak memiliki Perda Nomor 2 Tahun 2020 dan Perbup no 26 tahun 2016 tentang kesehatan ibu dan bayi.
“Akan tetapi, masih belum memberikan kejelasan persentase alokasi anggaran untuk program KIBBLA. Sedangkan pada Perda Nomor 2 Tahun 2020 tidak ada peran dari pemerintah Desa, namun hanya terdapat pada Perbup no 26 tahun 2016 yang belum disesuaikan dengan UU Desa dan turunan lainnya,” paparnya.
Sebab itu, PPSW Pasoendan Digdaya memberikan beberapa rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten Lebak. Yang pertama adalah, melakukan revisi Perda Nomor 2 Tahun 2020 dengan memasukkan persentase alokasi anggaran KIBBLA dan kejelasan peran para stakeholder terkait;
“Yang kedua adalah, disusun Peraturan Bupati yang memperjelas alokasi anggaran KIBBLA, pelaksanaan peran serta masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu, pemateri lainnya, Pegiat FOPKIA Kabupaten Tangerang, Ahmad Aziz Faozi memaparkan terkait praktik baik yang sudah dilakukan oleh pihaknya. Aziz menyampaikan, pihaknya memiliki motivator KIA (MKIA) melakukan pendampingan bagi ibu hamil risiko tinggi (resti).
“Jadi ada buku pink yang ditempel stiker di setiap rumah yang di dalamnya ada golongan darah untuk menyiapkan donor sesuai dengan golongan darah ibu resti,” ujarnya.
Selain bersama pemda dan rumah sakit, FOPKIA juga melakukan sebuah inovasi bersama swasta untuk membangun Gerai KIA pada program USAID JALIN.
“Saat ini telah ada 9 Gerai KIA yang direplikasi dari 5 Gerai KIA. Dari 5 daerah piloting yang awalnya terdapat 16 kasus pada tahun 2018, menjadi satu kasus pada tahun 2019,” ujarnya.
Sementara itu, panelis yang mewakili tokoh agama, Enting Abdul Hakim menyampaikan, jika melihat pada surat An-nisa ayat 9 dan HR. Bukhori Muslim yang menyampaikan bahwa adanya larangan untuk menjadi muslim yang lemah dan mewariskan generasi yang lemah.
“Terdapat disertasi terkait pendidikan anak, dimana generasi kuat tersebut dibangun mulai dari pranikah. Jadi menyiapkan calon suami dan calon istri yang siaga. Jadi tidak mungkin anak yang kuat dari ayah dan ibu yang lemah,” terangnya.
Menurutnya, pada ulama terdahulu sudah mencontohkan agar seorang suami harus terus menemani istrinya,”misalnya dengan membacakan surat Yusuf dan surat Maryam,” tandasnya.
Sumber : Banpos
No comment yet, add your voice below!